Jumat, 15 April 2011
Nah...Ikut Gaya Cina atau Baratkah Model Pengasuhan Anda?
Anda pernah membaca buku Battle Hymn of the Tiger Mother? Karya Amy Chua ini merupakan best seller tengah yang menjadi perbincangan warga dunia. Dalam memoarnya, ibu dari Sophia (18 tahun) dan Louisa (14 tahun) itu menceritakan kesuksesan serta kesalahan yang dibuatnya dalam mengasuh anak dengan gaya tradisional Cina.
Orang tua Cina memang terkenal otoriter. Kedisiplinan dan kerja keras demi menggapai sukses mereka pertahankan di manapun berada. “Ini menjadi nilai yang diakui bersama oleh warga Cina,” jelas sosiolog Erna Karim.
Di satu sisi, Amy mendapat acungan jempol atas hasil pengasuhannya. Di usia 14 tahun, jemari si sulung, Sophia, lincah menari-nari di atas tuts piano di Carnegie Hall. Sedangkan, adiknya, Louisa memainkan biola tanpa sedikitpun nada sumbang. Seolah memenuhi tuntutan sang bunda, keduanya juga tampil sebagai jagoan akademik.
Kenyataan itu membuat banyak orang—terutama di Amerika—terusik. Standar kesuksesan anak Amy seolah menjadikan mereka sebagai orang tua yang gagal. Di samping itu, mereka menganggap profesor hukum dari Yale University kejam terhadap anak. Sebab, ibu yang menikah dengan pria Yahudi itu mengekang kedua putrinya dari kehidupan sosial. Mereka tak memiliki pengalaman menginap di rumah teman, pergi pesta, atau ikut pementasan drama.
Amy menuntut Sophia dan Louisa meraih nilai sempurna di semua mata pelajaran, kecuali olah raga dan drama. Masing-masing juga harus rutin berlatih alat musik yang dipilihkan sang bunda. Sebegitu kerasnya terhadap anak, Amy bahkan tidak mengizinkan Louisa istirahat sejenak untuk sekadar ke kamar kecil sampai gesekan biolanya merdu memainkan lagu Little White Donkey.
Erna mengatakan orang Cina memiliki alasan kuat ketika memberlakukan gaya pengasuhan otoriter pada anaknya. Kedisiplinan dan kegigihan adalah sikap yang mereka perlukan untuk dapat bertahan hidup. “Anak-anak Cina juga terbiasa tidak tergantung pada orang lain dan selalu berusaha meningkatkan kompetensi diri.”
Anak-anak Cina juga sejak kecil telah diperkenalkan pada falsafah hidup. Mereka akan berusaha untuk tidak mempermalukan keluarga. “Dengan didikan seperti itu, generasi muda Cina memang banyak yang sukses namun emosinya datar,” komentar psikolog A Kasandra Putranto.
Sementara itu, gaya pengasuhan ala Amerika juga ada plus-minusnya. Orang Amerika lebih permisif dan sangat memperhatikan faktor psikologis anak. “Pola asuh seperti itu memang membuat anak dapat menjalani hidup sesuai pilihannya namun mengkondisikan mereka menjadi anak yang besar kepala dan seenaknya,” cetus Kasandra yang menjabat sebagai wakil ketua Himpunan Psikologi Indonesia wilayah DKI Jakarta.
Bagaimana dengan Indonesia? Kasandra menyimpulkan orang tua Indonesia berada di antara dua kutub gaya pengasuhan Cina dan Amerika. “Lantaran tiap pola asuh memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri, kita tidak bisa mengatakan mana yang terbaik.”
Sementara itu, Erna memperhatikan masyarakat Indonesia sangat plural. Ragam etnik dan agama mempengaruhi nilai-nilai yang dipergunakan orang tua dalam mendidik anaknya. “Lantas, pola pengasuhan di desa juga berbeda dengan di perkotaan.”
Masyarakat desa, lanjut Erna, lebih permisif. Orang tua cenderung membiarkan anaknya berkembang tanpa pendampingan yang sesuai dengan tuntutan zaman. “Perhatian mereka terkuras untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi.”
Lalu, di perkotaan, orang tua tampak lebih akomodatif. Kebanyakan dari mereka mencoba menyediakan sarana yang memenuhi nilai-nilai moderenisasi. “Fokus mereka pada prestasi akademik dan persaingan masa depan,” papar Erna.
Itu sebabnya, orang tua perkotaan sibuk memasukkan anaknya ke berbagai kursus. Terutama, komputer dan bahasa Inggris. “Lalu, kebutuhan otak kanan yang mencakup bidang kesenian juga diakomodasi,” jelas Erna.
Bahan renungan
Untuk mengantarkan anaknya pada keberhasilan, Amy menentukan kegiatan anaknya. Ia berpendapat hingga berusia pra remaja, anak belum dapat secara objektif menilai. Otomatis, mereka harus mengikuti pilihan orang tua.
Terlepas dari kesuksesannya dalam membesarkan anak, Amy mengaku membuat sejumlah kesalahan sepanjang perjalanan. Ia gampang naik darah, kasar dalam perkataan, dan kurang memberikan keleluasaan memilih pada putrinya. Ia juga tak segan memberi hukuman.
Amy memang mengkritik pola asuh Barat yang cenderung lunak pada anak. Ketika anak kehilangan semangat belajar biola, orang tua Barat dengan cepat menawarkan alternatif alat musik lain yang lebih mudah dikuasai. Sebaliknya, Amy justru memberi dukungan agar putrinya makin giat berlatih supaya mahir.
Tidak semua anak Cina sukses diasuh dengan gaya otoriter. Beberapa anak klien keturunan Cina di biro Psychological Practice pimpinan Kasandra tertekan dengan pola asuh seperti itu. “Mereka memilih kabur dari rumah karena tidak tahan dengan kerasnya didikan orangtua.”
Akankah pencapaian Amy dijadikan barometer oleh sejumlah orang tua? Sosiolog Erna Karim mengatakan pengekor Amy adalah mereka yang tidak mampu mengonstruksi sendiri cara mendisiplinkan anak. “Orang yang terus mengikuti perkembangan zaman namun tak tahu cara pengasuhan lebih terpengaruh dengan buku-buku seperti Tiger Mom ini,” ungkap Erna.
Tantangan Masa Kini
Anak-anak Indonesia masa kini tumbuh dalam fasilitas yang nyaris serba ada. Dengan dukungan ekonomi keluarga yang lebih mapan, mereka mudah mengeksplorasi segala hal. “Dibandingkan dengan lima tahun lalu pun kondisinya sudah berbeda sekali,” ungkap guru Bimbingan Konseling SMP Labschool Kebayoran, Sinthya Bintarti.
Sementara itu, diperkenalkan oleh tayangan TV dan orang dewasa di lingkungan sekitarnya, anak-anak juga mengenal percintaan di usia yang sangat dini. Anak TK bahkan sudah dapat menyatakan kesukaannya pada lawan jenis. “Tentunya dengan presepsi sesuai usianya,” ujar Sinthya.
Dukungan fasilitas serta kondisi lingkungan seperti itu mendatangkan masalah tersendiri bagi anak. Kedekatan mereka dengan gadget dan akses internet membuat mereka teramat tergantung dengan teknologi. “Belum saatnya mereka terlalu mengandalkan gadget,” cetus Sinthya.
Pada usia sekolah, lanjut Sinthya, semestinya anak mencari informasi dari buku bacaan. Mereka harusnya membaca langsung dari sumber primer. Sedangkan, Wikipedia sebetulnya berisi keterangan dari sumber sekunder. ”Kebiasaan mengakses Wiki menurunkan minat baca mereka terhadap buku teks.”
Lantas, anak-anak sekarang juga berani memasuki dunia pergaulan di dunia maya. Padahal, mereka belum sepenuhnya bisa memilah. “Ada bahaya yang mungkin timbul dari pertemanan dengan orang asing di social media,” kata Sinthya.
Selain itu, anak juga terlampau sering terpapar dengan tontonan tidak sehat, seperti sinetron. Tayangan tersebut membuat mereka mudah berkata kasar. “Mereka menganggap berkata kasar merupakan bagian yang biasa dalam pergaulan,” ucap Sinthya.
Di lain sisi, ada komunikasi yang terputus antara orang tua dan anak. Sering kali, ekspektasi anak terhadap orang tuanya gagal tersampaikan secara utuh. “Anak belum selesai mengutarakan harapannya, ayah ibunya sudah keburu memotong,” kata Sinthya.
Ketika nilai ulangan jelek, misalnya, orang tua tidak mendengar sampai tuntas penyebab versi anak. Padahal, anak membutuhkan dukungan ayah bundanya. “Cobalah untuk menurunkan diri sedikit agar bisa merasakan masalah yang dialami anak,” saran Sinthya.
Sumber :
Kamis, 14 April 2011
Agar Tak Salah Pilih Pasangan
Salah memilih pasangan atau pendamping hanya akan menimbulkan luka mendalam di hati Anda. Karena itu, sebelum jatuh cinta, ada beberapa hal yang harus Anda siapkan.
Memilih pasangan juga butuh trik. Fatal akibatnya jika Anda jatuh cinta pada orang yang salah. Ketimbang melakukan kesalahan, lebih baik ikuti beberapa kiat dari Sheknows berikut ini.
1. Ketahui niat Anda
Sebelum mulai menilai orang lain, yang harus dilakukan adalah mengetahui niat Anda menjalin hubungan. Jika alasannya Anda dan si dia saling menyayangi, silakan teruskan. Namun jika Anda hanya mencari pelampiasan atas rasa sakit hati akibat hubungan sebelumnya, atau putus asa karena sahabat Anda yang lain telah memiliki pasangan, sebaiknya pikir-pikir lagi.
Sebuah hubungan yang dimulai dengan niat tidak serius atau tidak baik, biasanya tak akan berakhir dengan baik.
2. Naikkan standar
Jangan mudah terlena dengan penampilan dan kata-kata manis. Tak ada salahnya untuk menaikkan standar Anda dalam mencari pasangan. Hal ini bukan berarti Anda sombong atau jual mahal. Tak ada salahnya mencari pasangan yang paling baik bagi diri Anda, bukan?
3. Berbagi cerita
Tak ada salahnya untuk berbagi cerita cinta Anda dengan saudara atau sahabat. Dengarkanlah pendapat mereka mengenai pilihan Anda. Penilaian objektif dari mereka akan membantu Anda melihat sisi sebenarnya dari pasangan.
4. Buat daftar keburukan dan kelebihan
Jika semua hal di atas sudah dilakukan namun perasaan Anda tak juga bisa diyakinkan, kini saatnya membuat daftar keburukan dan kelebihan. Coba lihat daftar mana yang lebih panjang. Jika keburukan lebih banyak dari kelebihan, maka tak perlu lagi meneruskan hubungan.
Sebaliknya, jika kebaikan lebih banyak dari kekurangan, pertahankan si dia.
Sumber :
Selasa, 12 April 2011
Waktu Tepat Memberikan Ponsel Pada Anak
Memberikan ponsel untuk anak memang dilematis. Di satu sisi, Anda lebih mudah menghubungi mereka, namun di sisi lain, jika penggunaannya salah, maka bias berakibat buruk bagi perkembangannya.
Sebelum memutuskan untuk memberikan si kecil ponsel, ada beberapa hal yang harus Anda pertimbangkan.
Yang pertama, bersama siapa si kecil setiap hari. Jika anak Anda masih didampingi oleh sang nenek, atau pengasuhnya, sebaiknya berikan saja ponsel tersebut pada mereka. Jika Anda ingin mengecek keadaan anak, cukup hubungi neneknya atau pengasuhnya.
Kedua, pastikan konsentrasi anak tak terganggu karena ponselnya. Jangan sampai mereka justru lebih asyik SMS atau menelepon ketimbang mengerjakan tugasnya. Jika Anda merasa perlu memberikan si kecil sebuah ponsel, tak ada salahnya untuk memberikan ‘waktu percobaan’ pada anak. Jika selama waktu percobaan itu, si kecil berhasil memperlihatkan tanggung jawabnya, maka Anda boleh tenang, jika sebaliknya, itu tandanya anak Anda belum siap di beri ponsel.
Jika anak Anda masih di bawah umur remaja, sebaiknya berikan mereka ponsel yang tidak terlalu memiliki banyak fitur. Karena biasanya keperluan mereka hanya untuk menelepon dalam keadaan darurat, atau ditelepon. Memberikan ponsel yang terlalu mahal pada si kecil juga akan membahayakan mereka. Bukannya tidak mungkin, anak Anda malah menjadi incaran orang jahat yang menginginkan ponselnya.
Saat anak Anda yang meminta ponsel, coba diteliti alasannya. Apakah memang dia sudah membutuhkannya, atau hanya ikut-ikutan lingkungan sosialnya. Jangan sampai membelikan sesuatu yang sia-sia pada anak.
Sumber :
Senin, 11 April 2011
Wah, Remaja Penggemar Musik Lebih Mudah Depresi
REMAJA yang menghabiskan banyak waktu mendengarkan musik lebih berisiko mengalami depresi daripada remaja yang memiliki kegemaran membaca. Demikian diungkap sejumlah peneliti dari University of Pittsburgh School of Medicine, Amerika Serikat.
Peneliti melibatkan 106 peserta untuk mencari keterkaitan media dengan kesehatan emosional. Selama dua bulan, peneliti meminta peserta uji coba selama puluhan kali untuk melaporkan jenis media yang mereka terima, termasuk televisi, musik, video game, internet, majalah, dan buku.
Para ahli menemukan remaja yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka mendengarkan musik 8,3 kali lebih berisiko menjadi depresi. Di sisi lain, mereka yang lebih suka membaca buku hanya sepersepuluh dari penggemar musik yang berisiko depresi.
"Pada titik ini, tidak jelas apakah orang depresi mendengarkan musik sebagai pelarian atau apakah mendengarkan musik dalam jumlah besar dapat menyebabkan depresi atau keduanya. Apa pun itu, temuan tersebut dapat membantu dokter dan para orang tua menyadari adanya kaitan antara media dan depresi," kata Dr Briaqn Primack, asisten profesor kedokteran dan pediatri di Pitt's School of Medicine.
Menurut Institut Nasional Kesehatan Mental, penyakit depresi diperkirakan memengaruhi satu dari 12 remaja. Studi ini diterbitkan dalam edisi April dalam jurnal Archives of Pediatric and Adolescent Medicine.
Sumber :
Minggu, 10 April 2011
Menikah Memicu Kegemukan?
ANDA mungkin pernah mendengar pertanyaan, "Aduh, suamimu makin subur ya. Cocok ya sama masakan kamu?" atau "Gila, makin subur aja kalian berdua, bahagia nih ye, pengantin baru".
Bagi sebagian orang yang baru menikah tampak lebih gemuk ketimbang masa pacaran. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Sepertinya Hal Itu Normal
Pasangan yang telah menikah lebih banyak mengalami kenaikan berat badan dibandingkan penurunan berat badan. Hal ini akan terjadi tidak hanya pada wanita, tetapi juga pria.
Apakah Anda memperhatikan fenomena ini pada sahabat, keluarga, atau mungkin pada diri Anda dan pasangan Anda? Jika iya, berapa kilogram banyak kenaikan yang Anda alami sebelum pernikahan hingga saat ini? Jika Anda belum menikah, artikel ini sekiranya bisa memberi Anda bayangan mengapa hal itu bisa sampai terjadi.
Rasanya kenaikan berat badan setelah menikah dinilai wajar. Tubuh subur menandakan pasangan yang berbahagia setelah menikah, kehidupan yang berkecukupan, dan sehat. Apalagi bila hal itu terjadi pada wanita, setelah mengalami masa hamil dan melahirkan, maka dinilai wajar jika berat badan sang istri semakin membengkak.
Bukankah hal seperti itu wajar pada masyarakat Indonesia? Faktanya, fenomena kenaikan berat ini terjadi hampir di semua negara, tidak hanya negara kita.
Tidak Hanya di Indonesia
Sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris pada tahun 2010, seperti dilansir oleh Genius Beauty melaporkan bahwa seperlima pasangan yang telah menikah mengalami kenaikan berat badan sebesar 10 kg pada tahun pertama usia pernikahan mereka.
Bayangkan! 10 kg hanya pada tahun pertama, bagaimana berat badan mereka di tahun-tahun selanjutnya? Fakta ini tidak terlalu menggembirakan bila dinilai dari sisi kesehatan.
Apa alasan mereka sehingga berat badan bisa membengkak sebanyak itu? Sekitar 42% pasangan mengaku hidup mereka lebih rileks dan santai setelah menikah. Sebanyak 22% mengatakan bahwa setelah menikah, mereka tidak perlu lagi mengejar penampilan dan berat badan ideal.
Sedangkan 25% justru mengaku berat badan mereka bertambah karena depresi setelah pernikahan, pelampiasan pada makanan akhirnya membawa tubuh mereka ke angka yang gila-gilaan.
Harus Direm
Ini adalah sebuah fakta. Bila Anda telah menikah dan menemukan berat badan Anda atau pasangan Anda bertambah, lihatlah tabel kesehatan, apakah berat badan Anda dan pasangan masih dalam angka yang ideal?
Jika iya, tetap jaga berat badan ideal yang sesuai dengan standar kesehatan. Jika berlebihan, sudah waktunya Anda menormalkan kembali angka timbangan Anda dan pasangan.
Ingat! Berat badan erat kaitannya dengan kesehatan Anda dan pasangan. Sekalipun orang lain menganggap Anda dan pasangan sangat bahagia dilihat dari bobot tubuh, Anda tetap harus menekan rem bila berat badan Anda ataupun pasangan melebihi bobot ideal.
Sudah menikah, bukan berarti Anda bebas berpenampilan dan semakin gemuk, justru Anda harus semakin memikirkan kesehatan Anda dan seluruh keluarga. Tetap sehat, tetap bahagia.
Sumber : Yahoo! Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)